Kamis, 04 September 2014

Hati yang hilang


Risa menutup buku biologinya walau sang guru masih menjelaskan pelajaran didepan. Tanpa ragu Risa membaringkan kepalanya dimeja yang bersih. Bersih tanpa buku dan alat tulis maksudnya. Risa memejamkan matanya namun tetap mendengarkan apa yang sang guru jelaskan didepan dengan suara yang keras dan lentang tentunya.
“Gue mau tidur” bisik Risa pada Andre.
Risa duduk di sebelah Andre, sang ketua kelas. Mereka berada di barisan paling belakang dan di depan mereka ada Anne berbadan gajah yang  mampu menutupi badan Risa yang mungil saat Risa ingin tidur, makan atau mendengarkan musik.
“Risa apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Bu Melly, sang guru biologi
Risa tidak menjawab. Jangankan menjawab, mengubah posisi kepalanya pun tidak walau ia mendengar bahwa sang guru sedang bicara padanya.
“Risa apa yang sedang kamu lakukan?” ulang Bu Melly sabar.
Risa tidak bergeming.
“Ris!!” Andre mencoba menyenggol tangan Risa yang mengalasi kepalanya.
Risa mengankat kepalanya dan saat itu juga bu Melly sudah berada di sampingnya.
“Risa, apa kamu tidak dengar dengan apa yang ibu tanya?”
“Risa, apa yang sedang kamu lakukan?” Risa mengulangi pertanyaan sang guru “Ibu nanya itu kan pada Saya?”
“Lalu kenapa kamu tidak menjawab?”
“Saya rasa Ibu sudah tahu apa yang Saya lakukan”
Bu Melly menggelengkan kepalanya. Tidak tahu harus bagaimana menyikapi anak didik seperti Risa.
“Sekarang kamu maju kedepan dan jelaskan kembali apa yang Ibu sudah jelaskan tadi!”
Risa berdiri dengan malas dan maju kedepan.“Teman-teman, hari ini Ibu Melly membahas tentang Susunan Kimia Sel.” Risa menulis ‘kimia sel’ di papan tulis dengan font yang super besar setelah menghapus semua bagian penting yang sudah sang guru tulis di depan, beberapa anak ada yang mengeluh karena belum menulis hal penting tersebut dan ada pula yang tertawa karena ulah Risa yang sengaja. “Kimia sel tersusun dari bahan Anorganis dan bahan Organis. Bahan Anorganik terdiri dari  . . . “ Risa menjelaskan apa yang sudah bu Melly jelaskan tanpa ada satupun yang terlewatkan lalu kembali ke tempat duduknya sebelum menerima aba-aba dari sang guru untuk duduk.
“Ibu harap kalian menyimak apa yang Ibu jelaskan dan benar-benar memperhatikan” ujar bu Melly, lalu kembali menjelaskan materi susunan kimia sel, sementara Risa kembali ke posisinya semula, membaringkan kepala dan memejamkan matanya.
= = =
2 tahun yang lalu, Risa memiliki adik bernama Rara. Rara meninggal saat duduk di bangku kelas 1 SMP dan saat itu Risa duduk di bangku kelas 3 SMP. Kecelakaan maut telah mempertemukan Rara dengan ibu yang sudah lama meninggalkan mereka dan akhirnya kini Risa tinggal bersama sang ayah.
Sebelum kecelakaan terjadi, Rara pulang sekolah terlambat, karena sang guru menghukum Rara karena menyangka tidak mengerjakan PR, padahal saat itu Rara sudah menyelesaikan PRnya, namun buku Rara ketinggalan di rumah. Sang guru tidak mau mendengarkan penjelasan Rara, karena merasa alasan yang Rara berikan adalah alasan biasa dan akhirnya Rara terlambat pulang. Saat perjalanan pulang, angkot yang Rara tumpangi melaju dengan cepat dan menerobos lampu merah tanpa melihat bahwa dari arah lain ada bus yang melaju dengan kecepatan yang tinggi pula. Kejadiaan naas itu membuat Rara mengalami koma selama dua hari. Dua hari Rara bertahan dan akhirnya menutup mata untuk selamanya.
Sejak kejadian itu, Risa tidak pernah lagi mau naik angkot. Risa lebih memilih jalan kaki atau mengendarai sepeda bututnya dengan hati-hati. Sepeda yang dulu selalu menjadi bahan rebutan Risa dan Rara. Sejak saat itu juga, Risa benci pada setiap guru yang ada di sekolahnya sampai saat ini. Satu-satunya alasan mengapa Risa masih tetap bersekolah adalah karena sang ayah yang tidak kunjung bosan menyemangati Risa untuk tetap bersekolah.
Risa pintar, tidak pernah sekalipun ia tidak membuat PR atau tugas, sebelum guru menjelaskan pelajaran, Risa sudah menguasainya lebih dulu karena sudah belajar di rumah sebelumnya. Dibalik sisi baik Risa, ada sisi buruk yang tidak pernah mau ia ubah seperti selalu masuk kelas terlambat walau sudah menginjakkan kaki di sekolah saat sekolah masih sepi, selalu –ingin semau gw- dalam kelas, entah itu tidur, makan, minum, mendengarkan mp3, ngobrol dan lain lagi. Risa selalu menyodorkan PR atau tugasnya pada teman-temannya. Risa tidak ingin teman-temannya mengalami hal yang sama dengan apa yang adiknya alami.
Belum genap satu tahun Risa duduk di bangku 1 SMA, sudah 2 kali ayahnya di panggil oleh guru BP. Sebenarnya Risa sedih karena membuat malu sang ayah.
“Bagaimana sekolah kamu, Nak?” tanya Ayah saat Risa sedang membaca buku kimianya.
“Kalau nilai, Risa tidak pernah bermasalah, Yah”
“Ubah pola pikir kamu, Nak”
Risa menutup bukunya, tahu kemana arah pembicaraan sang ayah,  lalu  memandang wajah sang ayah yang sudah keriput. Sedetik kemudian Risa menangis sambil memeluk lututnya.
Sudah terlalu sering Risa menangis tertahan dikamarnya yang sempit sejak Rara meninggal. Bagi Risa kini, hidupnya benar-benar yang paling menyedihkan. Tumbuh tanpa kasih sayang  seorang ibu membuat Risa terkadang iri pada semua teman-temannya dan yang paling Risa benci kini adalah kenyataan bahwa sang adik pun tak ada di sampingnya lagi.
“Siapa yang kejam Ayah?”tanya Risa di sela-sela tangisnya.
“Kehidupan memang kejam Nak. Kehidupan yang mampu mengubah hati putri ayah yang lembut hilang entah kemana”
“Tuhan tidak adil!”
“Bukan Tuhan tidak adil, Nak. Bukan juga guru-guru yang jahat atau kejam. Tapi semua ini sudah menjadi rancanganNya.”
Akhirnya ayah tidak bisa membendung rasa sedih yang selama ini juga menyelubungi hatinya, hati yang selalu berusaha untuk tegar di depan sang putri. Ayah menangis tanpa suara lalu memeluk sang putri dan membelai lembut kepala Risa.
“Mana anak Ayah yang dulu tegar saat Ibu meninggal? Anak Ayah yang dulu berhati lembut? Mana anak Ayah yang selalu bersabar menunggu datangnya pelangi sehabis hujan?”
“Maafin Risa Yah, Risa udah buat Ayah malu”
“Risa janji, demi Ibu, demi Rara dan demi Ayah, Risa akan berubah. Risa akan buat Ayah bangga. Risa nggak mau buat Ayah sedih lagi” Risa mempererat pelukannya pada sang Ayah.
“Lakukan yang terbaik untuk diri kamu sendiri Nak. Saat anak Ayah bahagia, maka Ayah juga pasti akan ikut bahagia”
“Risa sayang Ayah” Risa merasa lega setelah menangis dalam pelukan sang ayah. Mengadu asa.

cerita Sekolah Dasar

ini cerita saya tentang masa sekolah dasar dulu, yah sekitar tahun 2004 - 2006 dimana saya sedang duduk dibangku kelas 4 (2004). 

Saya punya empat orang sahabat yaitu ipit-si cewek tangguh yang gesitnya nggak ketulungan, ada Lisa- si atlet lari yang nggak tau udah memenangkan berapa piagam, ada Ewis-yang selalu gonta ganti pacar, ada Nia-si cewek kalem berkerudung (bukan berkerudung merah) dan Me-si cewek mungil yang nggak pernah berseragam rapih, selalu memanjat pohon jambu yang ada di pojok sekolah dan yang paling memalukan, rok sekolah saya pernah sobek bagian belakang karena saat saya mau turun dari pohon jambu, rok saya tersangkut pada dahan pohon. karena malu saya menyuruh teman saya untuk meminjam taplak meja guru yang ada di kelas dan saya pulang bukan dengan seragam merah putih namun kuning putih (Karena taplak mejannya berwarna kuning) 

selain kebiasaan memanjat saat lonceng istirahat berbunyi, saya dengan sahabat-sahabat saya sering berkunjung ke hutan yang ada di belakang sekolah saat lonceng pulang sekolah berbunyi. hutan itu sebenarnya hutan yang tidak boleh di kunjungi dengan sembarangan karena saat beberapa siswa yang sengaja bermain ke sana tak jarang kesurupan, namun untungnya setiap saya dan teman-teman saya ke hutan tersebut tidak pernah terjadi hal yang aneh-aneh. di hutan itu ada pohon rambutan dan nangka hutan sehingga kami sering kesana untuk mengecek apakah kedua jenis buah-buahan tersebut berbuat atau tidak,,  kami seperti anak si yang punya tanah :)